Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya homogen serta memiliki berbagai budaya dan adat istiadat yang berbeda-beda. Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika menandakan bahwa meskipun berbeda budaya, suku bangsa, serta bahasa namun tetap satu. Sikap saling menghargai dan toleransi antar umat beragama pun sudah ada sejak dahulu kala. Namun ditengah arus globalisasi serta informasi yang canggih ini, sikap itu cendrung meluntur dan bahkan berangsur punah. Timbulnya tindakan kekerasan yang mengarah pada anarkisme kini semakin sering terjadi, hal ini juga yang menjadi keprihatinan bangsa saat ini.
Menurut KH. Marsudi Syuhud terjadinya gejolak sosial atau kekerasan yang mengatas namakan agama di karenakan kurangnya komunikasi serta pemahaman antara satu agama dengan agama yang lain, dimana yang bisa kita toleransi dan di posisi mana mana harus berbeda. “ Komunikasi antar umat beragama juga belum seluruhnya merata sampai ke akar rumput ”, ucap Sekertaris Jenderal PBNU KH.Marsudi Syuhud. Bahwa dialog-dialog antar umat beragama yang ada saat ini hanya terjadi tingkat para pimpin atau pemuka agama saja, dan masih banyak yang belum menyentuh pada masyarakat bawah, oleh karena itu komunikasi serta dialog tersebut harus menyentuh serta melibatkan akar rumput, agar tidak terjadi salah paham ataupun distorsi ditingkat masyarakat bawah. Pendekatan yang harus dilakukan juga harus melihat dan disesuaikan dengan kultur tiap-tiap daerah, tambahnya lagi.
Jika dahulu para wali songo dapat menyebarkan dakwahnya dengan jalan damai tanpa kekerasan, mengapa kini di era globalisasi yang canggih justru sebaliknya, tandas KH.Marsudi. Seharusnya semua elemen bangsa ini dapat mencontoh apa yang telah dilakukan dilakukan oleh para wali, dan tidak merasa dirinya sendiri yang paling benar sedangkan yang lain tidak, tegasnya.
KH.Marsudi Syuhud juga menegaskan bahwa NU tidak sepaham dengan faham nya Ahmadiyah.
0 komentar:
Posting Komentar